PengertianOtonomi Daerah di Indonesia. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur serta mengurus rumah tangga sendiri sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan bila merujuk pada UU Nomor 12 tahun 2008 dan UU nomor 32 tahun 2004, yang dimaksud dengan Pembaruankebijaksanaan otonomi daerah menurut Undang - Undang No. 25 tahun 1974 yang telah dipraktekan selama 25 tahun di indonesia kemudian berubah menjadi Undang - Undang No. 22 tahun 1999 dan diperbarui kembali menjadi Undang - Undang No. 32 tahun 2004 yang memberikan otonomi sangat luas kepada daerah, khususnya kabupaten dan kota Daerahotonom atau daerah maura swantantra adalah daerah di dalam suatu negara yang memiliki kekuasaan otonom, atau kebebasan dari pemerintah di luar daerah tersebut.Biasanya suatu daerah diberi sistem ini karena keadaan geografinya yang unik atau penduduknya merupakan minoritas negara tersebut, sehingga diperlukan hukum-hukum yang khusus, yang hanya cocok diterapkan untuk daerah tersebut. Vay Tiền Nhanh. Pengertian Otonomi Daerah – Otonomi daerah adalah sebuah sistem atau kewenangan yang dimiliki daerah. Otonomi daerah ini bertujuan untuk mengembangkan daerah serta isi di dalam daerah tersebut. Di negara Indonesia ini, otonomi daerah sudah diterapkan. Tujuan dari penerapannya adalah untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat di daerah tersebut. Otonomi daerah ini membuat pemerintah daerah dapat melakukan pengembangan pada daerah-daerahnya tersebut. Apa itu otonomi daerah? Artikel ini akan membahas hal-hal mengenai otonomi daerah. Seperti pengertian otonomi daerah, tujuan otonomi daerah, prinsip otonomi daerah, asas otonomi daerah dan landasan hukum dari otonomi daerah. Pengertian Otonomi Daeraha. F. Sugeng Istiantob. Syarif Salehc. Kansild. Widjajae. Philip Mahwoodf. Benyamin Hoeseing. Mariunh. Vincent LemiusTujuan Otonomi DaerahPrinsip Otonomi Daeraha. Prinsip otonomi seluas-luasnyab. Prinsip otonomi nyatac. Prinsip otonomi yang bertanggung jawabAsas Otonomi Daeraha. Asas Desentralisasib. Asas Dekonsentrasic. Tugas PembantuanLandasan Hukum Otonomi Daerah Secara etimologi, istilah otonomi berasal dari bahasa Latin. Kata otonomi berasal dari kata “autos” yang memiliki arti “sendiri”, kata kedua berasal dari kata “nomos” yang memiliki arti “Aturan”. Berdasarkan etimologi otonomi memiliki arti pengaturan sendiri, memerintah sendiri atau mengatur. Otonomi daerah dan daerah otonom adalah dua hal yang berbeda. Dalam makna sempit, otonomi memiliki arti mandiri. Dalam makna luas memiliki arti berdaya. Maka dari itu, otonomi daerah adalah kemandirian suatu daerah. Kemandirian tersebut berkaitan dengan pembuatan dan keputusan mengenai hal-hal penting yang ada di daerahnya sendiri. Selain itu, dapat juga dikatakan bahwa otonomi daerah adalah sebuah kewenangan otonomi daerah. Kewenangan tersebut untuk mengatur serta mengurus kepentingan masyarakat setempatnya. Hal ini didasari oleh pelaksanaannya sendiri, dan berdasarkan aspirasi dari masyarakat. Otonomi daerah berjalan sesuai dengan peraturan undang-undang. Sedangkan arti dari daerah otonomi adalah sebuah kesatuan masyarakat hukum. Kesatuan tersebut memiliki batas daerah tertentu. Daerah tersebut memiliki wewenang untuk mengatur daerahnya. Selain itu, terdapat pula wewenang untuk mengurus kepentingan masyarakatnya. Hal ini juga didasari oleh aspirasi masyarakat di dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ada salah satu hal yang menjadi aspek penting dari otonomi daerah. Hal tersebut adalah pemberdayaan masyarakat. Hal ini akan membuat mereka memiliki hak untuk berpartisipasi. Seperti dalam proses perencanaan, proses pelaksanaan, proses penggerakan dan proses pengawasan. Proses-proses tersebut akan terjadi dalam pengelolaan pemerintah daerah. Hal tersebut digunakan dalam penggunaan sumber daya pengelola serta memberi pelayanan yang prima kepada public atau masyarakat. Menurut Undang-Undang No 32 Tahun 2004, otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Janji Otonomi Daerah Perspektif Ekonom Buku ini disajikan secara ringan dan ringkas untuk konsumsi populer, namun dapat pula menjadi pegangan penting bagi praktisi, dan kalangan akademisi. Tinjauan dalam buku ini meliputi tema-tema seputar kepribadian elit politik, perilaku memilih, dominasi sosial, psikologi damai, analisa opini publik, identitas sosial, dan psikologi protes. Berikut ini adalah pengertian otonomi daerah menurut beberapa ahli a. F. Sugeng Istianto Otonomi Daerah merupakan hal-hal yang berkaitan dengan hak dan wewenang suatu daerah dalam mengurus rumah tangga daerah. b. Syarif Saleh Otonomi daerah adalah sebuah hak untuk mengatur dan memberi perintah. Adapun yang yang diatur dan diberi perintah adalah daerah sendiri tersebut. Hak tersebut adalah hak yang didapatkan dari pemerintah pusat. c. Kansil Menurut Kansil, otonomi daerah menyangkut tiga hal. Hal tersebut adalah hak, wewenang dan kewajiban. Tiga hal tersebut berkaitan dengan daerahnya, yaitu untuk mengatur sekaligus mengurus daerahnya. Tentunya sesuai dengan peraturan dari undang-undang yang masih berlaku. d. Widjaja Widjaja menjelaskan bahwa otonomi daerah adalah salah satu bentuk dari desentralisasi pemerintahan. Bentuk tersebut pada dasarnya ditujukan untuk memenuhi kepentingan. Kepentingan yang dimaksud disini adalah kepentingan dari bangsa dan negara. Otonomi daerah dilakukan untuk memenuhi kepentingan secara menyeluruh. Caranya dengan melakukan upaya yang tentu lebih baik. Contohnya dalam mendekatkan berbagai tujuan dari penyelenggaraan pemerintah. Hal itu dilakukan supaya cita-cita masyarakat terwujud. Seperti hidup dalam keadaan yang makmur. Selain itu, terciptanya keadilan di masyarakat. e. Philip Mahwood Otonomi daerah adalah hak yang berasal dari masyarakat sipil. Hak itu dimaksudkan untuk mendapat sebuah kesempatan. Seperti kesempatan untuk diperlakukan secara sama. Contohnya dalam mengekspresikan sesuatu, berusaha untuk mempertahankan kepentingan masyarakat masing-masing dan ikut serta di dalam mengendalikan sesuatu. Seperti mengendalikan penyelenggaraan dari kinerja pemerintah daerah tersebut. f. Benyamin Hoesein Otonomi daerah menurut Benyamin Hoesein adalah suatu pemerintahan yang dibuat oleh rakyat. Pemerintahan tersebut dibuat untuk rakyat. Pemerintahan tersebut berada di bagian wilayah negara secara informal dan berada di luar pemerintahan pusat. g. Mariun Mariun menjelaskan bahwa otonomi daerah adalah kewenangan atau kebebasan yang dimiliki oleh pemerintah daerah. Kebebasan tersebut memungkinkan mereka untuk membuat sebuah inisiatif sendiri. Inisiatif tersebut digunakan untuk mengatur daerahnya. Selain mengatur, juga diperuntukan untuk mengoptimalkan daerahnya. Seperti mengoptimalkan sumber daya yang dimiliki oleh daerah tersebut. Ini membuat daerah tersebut memiliki kebebasan penuh untuk daerahnya. h. Vincent Lemius Otonomi daerah adalah sebuah kebebasan atau kewenangan. Kedua arti tersebut mengarah pada hal-hal yang berkaitan dengan politik. Contohnya seperti membuat keputusan politik. Seperti administrasi yang memang sesuai dengan peraturan undang-undang yang berlaku. Tujuan Otonomi Daerah Beberapa tujuan dari otonomi daerah adalah sebagai berikut Bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada para masyarakat. Bertujuan untuk mengembangkan kehidupan masyarakat yang didasari oleh demokrasi. Bertujuan untuk mewujudkan suatu keadilan sosial kepada seluruh lapisan masyarakat. Bertujuan untuk mewujudkan pemerataan daerah. Bertujuan untuk memelihara hubungan yang serasi dan baik. Hubungan yang dimaksud adalah antara pusat dan daerah. Selain itu, menjalin hubungan baik antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI. Bertujuan untuk mendorong upaya pemberdayaan masyarakat. Bertujuan untuk menumbuhkan prakarsa sekaligus kreativitas. Serta meningkatkan peran masyarakat dan mengembangkan peran juga fungsi dari pihak DPRD. Prinsip Otonomi Daerah Adapun prinsip otonomi daerah adalah sebagai berikut a. Prinsip otonomi seluas-luasnya Prinsip otonomi seluas luasnya memiliki arti bahwa suatu daerah akan diberikan sebuah wewenang. Kewenangan tersebut dipakai untuk mengatur serta mengurus urusan rumah tangganya sendiri. Kewenangan ini juga membuat daerah dapat mengatur pemerintahannya sendiri. Akan tetapi, harus tetap sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Seperti ketika sebuah hal menjadi kewenangan pemerintah pusat. Maka pemerintah daerah harus mengikuti aturan dari undang-undang tersebut. b. Prinsip otonomi nyata Berdasarkan prinsip otonomi nyata, suatu daerah akan diberikan sebuah wewenang. Kewenangan tersebut digunakan untuk menangani urusan-urusan dari pemerintahan. Urusan tersebut didasarkan dari sebuah tugas, wewenang serta kewajiban. Ketiga hal tersebut secara nyata sudah ada dan memiliki potensi untuk terus bertumbuh. Selain itu, memiliki potensi untuk terus berkembang. Serta hidup sesuai dengan potensi dari daerah tertentu. c. Prinsip otonomi yang bertanggung jawab Prinsip otonomi daerah yang bertanggung jawab ini memiliki makna dalam suatu sistem penyelenggaraan pemerintahan. Prinsip ini harus disesuaikan serta diperhatikan. Mengenai tujuan dan maksud dari pemberian otonomi. Tujuan-tujuan yang akan dicapai menurut prinsip otonomi yang bertanggung jawab adalah mampu dan dapat memberdayakan daerahnya masing-masing. Ini dilakukan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dari masyarakat yang luas. Otonomi Daerah Dan Daerah Otonom Buku yang digunakan sebagai awal sosialisasi otonomi daerah ini, sangat bermanfaat bagi kalangan birokrat, baik pusat maupun daerah; atau bagi berbagai kalangan yang terlibat dalam birokrasi pemerintahan. Termasuk juga mahasiswa Fakultas Hukum, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, serta para aparat pemerintah dari tingkat tinggi sampai yang terendah. Ditulis oleh penulis yang menjadi Tim Fasilitator Pelaksanaan Otonomi Daerah Sumatera Selatan, maka buku ini berasal dari sumber yang tidak diragukan kredibilitasnya. BACA JUGA Kegiatan Ekonomi Pengertian, Sejarah, Jenis, Tujuan, Contoh Asas Otonomi Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 mengenai Pemerintah Daerah, terdapat 3 jenis penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi dasar bagi pemerintah daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah. Asas-asas tersebut antara lain adalah asas desentralisasi, asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan. a. Asas Desentralisasi Asas desentralisasi adalah sebuah penyerahan wewenang. Penyerahan tersebut dilakukan oleh pemerintah pusat pada pemerintah daerah. Pemerintah daerah memiliki wewenang untuk mengurus daerahnya tersebut secara mandiri. Hal ini berdasarkan dari asas otonom. b. Asas Dekonsentrasi Asas dekonsentrasi adalah sebagian urusan dari pemerintahan yang menjadi wewenang pemerintah pusat pada gubernur. Hal tersebut karena gubernur adalah wakil dari pemerintah pusat. Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat pada instansi vertikal di sebuah wilayah tertentu, dan/atau pada gubernur dan walikota atau bupati sebagai penanggung jawab dari urusan pemerintahan umum. c. Tugas Pembantuan Tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk melaksanakan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat atau dari pemerintah daerah provinsi kepada daerah kabupaten/kota untuk melaksanakan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah provinsi. Landasan Hukum Otonomi Daerah Adapun landasan atau dasar hukum dari penerapan otonomi daerah adalah sebagai berikut Undang Undang Dasar Tahun 1945 Amandemen ke-2, terdiri dari Pasal 18 Ayat 1 sampai 7, Pasal 18 A ayat 1 dan 2 dan Pasal 18 B ayat 1 dan 2. Ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998 mengenai Penyelenggaraan Otonomi Daerah. Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah. Undang Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang Undang No. 33 Tahun 2004 mengenai Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Daerah dan Pusat Itulah informasi mengenai otonomi daerah. Temukan hal-hal menarik lainnya di Gramedia sebagai SahabatTanpaBatas akan selalu menampilkan artikel menarik dan rekomendasi buku-buku terbaik untuk para Grameds. Strategi dan Problem Sosial Politik Pemerintahan Otonomi Daerah Indonesia Konsep Mensukseskan Otonomi Daerah Buku ini mengurai situasi berbagai aspek sosial, budaya, politik, dan sejarah dalam rangka pelaksanaan dan upaya mensukseskan era otonomi daerah di Indonesia. Peran perempuan era otonomi di awal buku ini dipaparkan secara faktual tentang kemampuan memperoleh kekuasaan untuk mendapatkan suatu hasrat jabatan politik di lembaganya. Penulis Wida Kurniasih Sumber dari berbagai sumber BACA JUGA Pengertian BUMN Ciri, Jenis, Tujuan, Fungsi, dan Peran Pengertian Modal Sejarah, Jenis, Sumber, dan Manfaat Pengertian Produksi Fungsi, Tujuan, Jenis, Tahapan dan Faktornya Pengertian Perusahaan Manufaktur Karakter, Sistem, Proses dan Contohnya Pengertian Bursa Efek Sejarah, Cara Kerja, Jenis, Tugas dan Instrumennya ePerpus adalah layanan perpustakaan digital masa kini yang mengusung konsep B2B. Kami hadir untuk memudahkan dalam mengelola perpustakaan digital Anda. Klien B2B Perpustakaan digital kami meliputi sekolah, universitas, korporat, sampai tempat ibadah." Custom log Akses ke ribuan buku dari penerbit berkualitas Kemudahan dalam mengakses dan mengontrol perpustakaan Anda Tersedia dalam platform Android dan IOS Tersedia fitur admin dashboard untuk melihat laporan analisis Laporan statistik lengkap Aplikasi aman, praktis, dan efisien Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo dalam rangka penyerahan personel, sarana dan prasarana, serta dokumen sebagai implikasi UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dok. Kemendagri. Pelaksanaan otonomi daerah telah berjalan 23 tahun hingga 2019. Selama itu banyak bermunculan Daerah Otonom Baru DOB. Hingga kini terdapat 542 daerah otonom yang terdiri dari 34 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota. Kelahiran DOB memicu daerah-daerah lain untuk menuntut pemekaran. Hingga tahun 2019, Kementerian Dalam Negeri menerima 314 usulan pemekaran daerah setingkat provinsi dan kabupaten/kota. Namun, pemerintah belum mengabulkan karena masih moratorium. Moratorium bertujuan agar daerah tidak asal dimekarkan. Tetapi harus melalui kajian dan telaah mendalam. Secara umum, otonomi daerah telah berjalan dengan baik. Daerah-daerah dapat membangun dan menggali potensinya dengan menyerap dan melibatkan masyarakat. Tentu saja juga masih banyak kekurangan yang harus diperbaiki. “Sebetulnya otonomi daerah sudah pada jalan yang benar. Cuma memang berbagai hambatan dalam penyelenggaraan otonomi daerah tak bisa kita hindari. Seperti persoalan lemahnya kapasitas, baik personal, kelembagaan, apalagi pembiayaan. Inilah persoalan klasik yang selama ini dianggap persoalan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Berbagai persoalan itu harus dievaluasi dan dijadikan bahan untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan yang ada,” kata Akmal Malik, Plt. Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri. Di samping itu, kata Akmal, belum terlihat local wisdom atau kearifan lokal mewarnai otonomi daerah kita. “Saya melihat otonomi daerah masih pendekatan-pendekatan normatif semata. Terlalu kaku. Tidak berani mengedepankan local wisdom dalam mengelola urusan-urusan yang diberikan pusat kepada mereka. Ini karena persoalan kapasitas.” Dalam menjalankan wewenangnya, daerah memiliki hak untuk menentukan tatacara yang sesuai dengan tuntutan masyarakat, perkembangan zaman, dan kearifan lokal, yang hidup di masing-masing daerah. Dengan demikian, masing-masing daerah berpeluang melahirkan berbagai inovasi dan terobosan model atau mekanisme penyelenggaraan pemerintahan. Dengan demikian tak kehilangan makna kebinekaan sebagai bangsa. “Memang muncul inovasi-inovasi baru dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Tetapi masih kurang. Oleh karena itu kita berharap semakin banyak daerah yang menciptakan inovasi-inovasi dalam mengelola daerahnya,” kata Akmal. Tahun 2019, Kementerian Dalam Negeri memberikan apresiasi terhadap Pemerintah Daerah yang berhasil meraih kinerja terbaik secara nasional, sehingga layak mendapatkan Tanda Kehormatan Parasamya Purnakarya Nugraha yang diberikan kepada Pemerintah Daerah sukses mendapatkan prestasi kinerja tertinggi selama 3 tiga tahun berturut-turut dan penghargaan Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Bhakti Praja Nugraha diberikan kepada Kepala Daerah berprestasi kinerja sangat tinggi dalam penyelenggaraan Pemerintah Daerah berdasarkan pada hasil Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintah Daerah EKPPD atas Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah LPPDTahun 2017. Sejarah otonomi daerah sendiri, kendati baru berusia dua dasawarsa, tetapi jejaknya dapat ditelusuri sejak zaman kolonial Belanda. Menteri Koloni Idenburg yang mengusulkan UU Desentralisasi 1903. Desentralisasi Zaman Kompeni Pada akhir abad ke-19, tuntutan desentralisasi pemerintahan di Hindia Belanda mencuat dalam persidangan parlemen Belanda Tweede Kamer. Anggota parlemen Keuchenius membuka perdebatan itu pada 1880. Dia mengusulkan pembentukan gewestelijk raad, yaitu dewan tempat warga Eropa dapat menyuarakan isi hatinya, di daerah-daerah di Hindia. Di Hindia, muncul penentangan dari kalangan konservatif. Pada 1880, Gubernur Jenderal van Lansberge berkirim surat kepada Menteri Tanah Jajahan W. Baron van Goldstein van Oldenaller agar perdebatan soal desentralisasi dihentikan saja. Alasannya, selain penduduk bumiputra belum terpelajar, orang Eropa terpelajar umumnya sibuk mencari harta kekayaan dan tak punya waktu mengurus kepentingan lain. Namun suara di parlemen mengeras. Baron van Dedem, anggota parlemen lain, mendukung usulan Keuchenius. Dalam persidangan tahun 1881, dia menyuarakan perlunya perubahan tata pemerintahan kolonial di Hindia. Dia bahkan mengusulkan pemisahan urusan keuangan dan anggaran belanja antara negeri induk dan koloni. Suara pendukung otonomi daerah tersendat ketika terjadi pembaruan pemerintah kolonial melalui Regerings Reglement 1854. UU itu antara lain mengatur penunjukan bupati oleh gubernur jenderal. Ditambah lagi dengan pemberlakuan Reglement op het Beleid der Regering van Nederlandsch-Indie, dimuat dalam Staatsblad No. 2 tahun 1885, yang menyebut Hindia Belanda adalah gecentraliseerd geregeerd land atau suatu wilayah yang diperintah secara sentralistik. Sempat tenggelam, perdebatan soal otonomi daerah mencuat kembali. Kali ini, tahun 1887, yang menyuarakannya adalah anggota parlemen yang juga pengusaha perkebunan tembakau sukses di Deli, Sumatra Utara, J. Th. Cremer. Menurut Cramer, unsur swasta sebagai pemberi saran dan pemantau haruslah dipandang penting dalam desentralisasi. Dia meyakini, apa yang baik bagi kehidupan usaha di Hindia Belanda akan baik pula bagi kehidupan seluruh penduduk di negeri itu. “Dengan demikian Cremer, red. boleh dipandang sebagai representasi kepentingan elemen-elemen partikelir tanah Hindia,” tulis Soetandyo Wignjosoebroto dalam Desentralisasi dalam Tata Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda. Para penyokong desentralisasi juga melihat pelaksanaan sistem liberal menyebabkan urusan pemerintahan di daerah meningkat, yang memerlukan keputusan dan penanganan cepat. Misalnya, bagaimana menangani kepentingan Belanda di kota-kota, pertumbuhan pabrik, hingga kebutuhan sarana dan prasarana di daerah seperti kereta api dan pelabuhan. Birokrasi, misalnya residen harus melapor setiap urusan ke gubernur jenderal, bisa menghambat pembangunan daerah. Upaya para pendukung desentralisasi mendapat angin ketika mereka menduduki posisi-posisi strategis. Ketika menjabat menteri koloni, Van Dedem mengajukan rancangan undang-undang RUU desentralisasi ke parlemen pada 1893. Upayanya gagal. Pada 1901, Cremer menempuh langkah serupa ketika menjabat menteri koloni namun kandas pada tahun itu juga. Begitu pula penggantinya, van Asch van Wijck, setahun kemudian. “Tetapi ketika Idenburg menjadi menteri koloni, rancangan dimaksud diajukan lagi disertai beberapa perubahan,” tulis Bayu Surianingrat dalam Sejarah Pemerintahan di Indonesia. Akhirnya, pada 23 Juli 1903, pemerintah Kerajaan Belanda menetapkan Decentralisatie Wet 1903 atau UU Desentralisasi 1903. Presiden Sukarno mengeluarkan UU No. 18/1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. UU ini merumuskan bahwa prinsip dasar otonomi daerah adalah otonomi riil dan seluas-luasnya. ANRI. Desentralisasi Keuangan UU Desentralisasi 1903 hanya merupakan amandeman tambahan parsial terhadap Regerings Reglement 1854. Penambahan itu adalah pasal 68a, 68b, dan 68c, yang menjadi pijakan bagi setiap residensi gewest dan bagian dari gewest untuk memiliki dan mengatur keuangan sendiri serta pembentukan dewan-dewan raad di daerah yang berwenang membuat peraturan-peraturan daerah. “Mengingat konten pasal-pasal tersebut, tidak keliru bila yang tengah terjadi ini adalah desentralisasi anggaran, bukan desentralisasi teritorial semata,” tulis Soetandyo. Untuk itu perlu dibentuk perangkat pelaksananya, berupa dewan lokal. Untuk merealisasikannya, pada 1905 pemerintah Kerajaan Belanda mengeluarkan Decentralisatie Besluit dan gubernur jenderal mengeluarkan Locale Radenordonnantie. Berdasarkan kedua peraturan ini, daerah yang diberi keuangan sendiri disebut locale ressort, dan dewannya disebut locale raad. Locale raad dibedakan menjadi gewestelijke raad dewan keresidenan dan plaatselijke raad dewan yang dibentuk untuk bagian dari gewest/keresidenan. Dewan untuk bagian dari gewest yang berbentuk kota dinamakan Gemeenteraad. Baca juga Berebut Jadi Tuan Bek Mulailah dibentuk berbagai daerah dengan keuangan dan aparatur pemerintahan daerah sendiri. Hak otonomi diberikan kepada keresidenan dan beberapa kota besar yang memiliki cukup banyak penduduk Eropa dan berdekatan dengan daerah perkebunan. Hingga akhir 1908 telah terbentuk 15 gemeente kotapraja, yaitu Batavia, Messter Cornelis Jatinegara, Buitenzorg Bogor, Bandung, Cirebon, Pekalongan, Tegal, Semarang, Surabaya, Magelang, Kediri, Blitar, Padang, Palembang, dan Makassar; dan enam gewest keresidenan, yaitu Banten, Rembang, Madura, Besuki, Banyumas, dan Madiun. UU Desentralisasi 1903 memang masih sempit. Alih-alih membentuk pemerintahan daerah yang otonom, ia hanya membentuk dewan-dewan daerah yang bertanggungjawab atas pengelolaan dan penggunaan anggaran dari pemerintah pusat. Keanggotaan dewan-dewan itu pun timpang. Hingga 1918, jumlah orang Eropa yang menduduki kursi anggota dewan di kotapraja dan keresidenan di Jawa amat dominan. Dari 388 anggota, 283 anggota di antaranya orang Eropa. Menurut Soetandyo, dari 338 anggota dewan itu, 223 anggota adalah orang-orang pemerintahan 143 orang Eropa dan 80 pribumi. Penyebabnya, tak mudah mengundang orang nonpemerintahan, apalagi yang layak dan punya kecakapan. “Banyak tugas yang didesentralisasikan berupa pelaksanaan pekerjaan yang sifatnya tak cuma finansial akan tetapi juga teknis,” tulis Soetandyo. Rendahnya keterwakilan bumiputera terhalang peraturan dan persyaratan yang ketat. Bagi bumiputera, hak pilih hanya diberikan kepada orang yang berpenghasilan minimum dapat berbahasa Belanda, dan memenuhi persyaratan-persyaratan lainnya. Kesempatan bumiputera untuk memiliki wakil di dewan jadi kecil. Kritikan pun datang. Dalam Sinar Hindia, 24 Juli 1918, Marco Kartodikromo, seorang jurnalis ternama, mengkritik ketimpangan anggota bumiputera di gemeenteraad dewan kota Semarang dalam bentuk syair Tiada seorang wakil rakjat / Bisa menjadi lid gemeenteraad / Bila raad-raad itoe main soelap / Soepaja kita selaloe gelap / Kita sekarang tak poenja wakil / Di dalam raad jang banjak begedjil / Setan ini selalu mengoesil / Memerasi kita orang ketjil. Syarif Hidayat, peneliti desentralisasi dan otonomi daerah pada Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia LIPI, mengatakan, desentralisasi yang diatasnamakan untuk kepentingan bumiputra itu hanya menguntungkan orang-orang Eropa. “Mereka memanfaatkan desentralisasi agar pemerintah membuka akses infrastruktur, terutama jalan, rel kereta, listrik, dan air, sehingga menguntungkan usaha perkebunan mereka,” ujarnya. Presiden Soeharto menetapkan 25 April sebagai Hari Otonomi Daerah. Pembaruan Pemerintahan Dominasi orang Eropa dan pejabat pemerintahan dalam dewan lokal membuat Simon de Graaf, direktur pemerintahan dalam negeri di Batavia, cemas. “Kini pembaruan dalam pemerintah semakin mendesak disebabkan kekhawatiran akan timbulnya oligarki, mengingat keikutsertaan penduduk dalam urusan pemerintahan terbatas pada segelintir orang pemimpin di tingkat politik tertinggi,” tulis Elsbeth Locher-Scholten dalam Etika yang Berkeping-keping. De Graaff berpendapat bahwa desentralisasi tak mungkin direalisasikan dalam satuan daerah setingkat keresidenan. Desentralisasi haruslah dilaksanakan keresidenan yang berformat lebih diperbesar dengan kemandirian yang lebih diperbesar pula, yang dia sebut de nieuwe gouvernement. Sementara bagian dari gewest hendaknya dijadikan keresidenan yang lebih kecil, dengan asisten residen diangkat menjadi residen. De nieuwe gouvernement atau pemerintahan baru tersebut berupa provinsi dan kabupaten. UU Desentralisasi 1903 kemudian diamandemen dan melahirkan UU Pembaruan Pemerintahan 1922 Bestuurshervormings wet 1922. “Amandemen kali ini dimaksudkan untuk merintis jalan bagi golongan pribumi memperoleh tempat yang lebih besar dalam tata pemerintahan,” tulis Soetandyo. UU tersebut ditindaklanjuti dengan Ordonansi Provinsi No. 78/1924, Ordonansi Kabupaten No. 79/1924, dan Ordonansi Kotapraja No. 365/1926. Pada 1 Januari 1926, diresmikan Provinsi Jawa Barat yang melebur empat keresidenan Banten, Batavia, Bandung, dan Cirebon. Pada 1 Januari 1929 diresmikan Provinsi Jawa Timur, dan setahun kemudian Provinsi Jawa Tengah. Di setiap provinsi akan dibentuk dewan provinsi. Di tiga provinsi tersebut kemudian dibentuk kabupaten regentschaps dengan dewan kabupaten. Di daerah-daerah otonom luar Jawa-Madura masih berlaku UU Desentralisasi 1903, dan baru berubah tahun 1937 dan 1938. Tujuan De Graaf ialah desentralisasi kepegawaian dan pengalihan wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. “Dewan-dewan provinsi hanya akan memberikan saran,” tulis Elsbeth Locher-Scholten. “Hanya pada tingkat kabupaten, dewan-dewan kabupaten di bawah pimpinan residen akan mengatur urusan setempat.” Menurut Soetandyo, dewan kabupaten terbentuk dengan jaminan mayoritas anggotanya berasal dari wakil-wakil golongan bumiputra, dengan ketua dijabat residen bupati setempat. Pada 1932, 76 kabupaten di Jawa-Madura telah dilengkapi dengan dewan, berjumlah anggota, 837 anggota di antaranya adalah bumiputra. Desentralisasi yang diupayakan susah payah sepanjang setengah abad pupus ketika Belanda menyerah kepada Jepang pada 1942. Tatanan pemerintahan amat sentralistis, hierarkis, dan mengikuti garis komando dari pusat sampai daerah. Presiden Habibie mengeluarkan UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur pelaksanaan otonomi daerah. Habibie 72 Days as Vice President. Menuju Otonomi Daerah Setelah kemerdekaan, jalan menuju desentralisasi menghadapi jalan terjal. Konsep desentralisasi diterapkan melalui sejumlah UU, yang sayangnya tak bisa diterapkan karena faktor politik. Di masa Orde Lama, misalnya, UU No. 1/1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah menerapkan konsep desentralisasi dengan “sistem residu”, yaitu wewenang pemerintah daerah adalah sisa dari wewenang yang tidak menjadi urusan pemerintah pusat. “Sayangnya ide pembaruan itu tidak sempat diaplikasikan, karena pada waktu bersamaan Indonesia disibukkan oleh munculnya sejumlah gerakan di daerah,” ujar Syarif. UU itu tak sempat diberlakukan karena Presiden Sukarno mengumumkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Untuk mengisi kekosongan, Sukarno mengeluarkan Penetapan Presiden Penpres No. 6/1959 dan No. 5/1960, yang menyebabkan kepala daerah berkedudukan sebagai penguasa tunggal di daerah seperti halnya presiden yang menjadi penguasa tunggal di pusat. “Hal tersebut mirip riwayat pra-Decentralisatie Wet 1903 tatkala residen bertakhta sebagai penguasa tunggal di daerah masing-masing dan gubernur jenderal sebagai penguasa tunggal di pusat,” tulis Soetandyo. Perubahan juga terjadi pada struktur pemerintahan daerah. Melalui Peraturan Presiden No. 22/1963, keresidenan dan kewedanan dihapus. Kekuasaan dan kewenangan residen dan wedana diserahkan kepada pemerintah daerah/kepala daerah tingkat I dan II. Di akhir masa kekuasaannya, Sukarno memaklumatkan UU No. 18/1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Menurut Syarif, UU ini cukup menarik karena rumusan tentang tujuan akhir desentralisasi mengindikasikan bahwa prinsip dasar otonomi daerah adalah “otonomi riil dan seluas-luasnya.” Sayangnya, hanya beberapa minggu setelah disahkan, Sukarno dipaksa mengakhiri kekuasaannya. Pemerintahan Orde Baru melalui Ketetapan MPRS No. XXI/MPRS/1966 menegaskan bahwa UU No. 18/1965 harus ditinjau kembali karena dianggap memberi kekuasaan dan otonomi terlampau besar kepada daerah. Sebagai gantinya, terbit UU No. 5/1974, yang mengedepankan mantra khas Orde Baru persatuan dan stabilitas politik demi “otonomi daerah yang nyata dan bertanggungjawab”. Praktis, selama Orde Baru, tak ada desentralisasi dan otonomi daerah yang signifikan. “Hal yang sesungguhnya terjadi, bila tidak mau dikatakan resentralisasi yang berkeras hati, adalah proses desentralisasi semu atau bentuk otonomi elite pemerintah daerah’ yang dikontrol elite pemerintah pusat,” tulis Soetandyo. Baru pada 1995 terbit Peraturan Pemerintah No. 8/1995 di mana pemerintah pusat menyerahkan sebagian urusan pemerintahan kepada 26 Daerah Tingkat II Percontohan. Kebijakan ini dijadikan tonggak dalam pelaksanaan otonomi daerah. Sehingga pada 7 Februari 1996, Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden No. 11/1996 yang menetapkan tanggal 25 April sebagai Hari Otonomi Daerah. Tamatnya pemerintahan Orde Baru pada 1998 menjanjikan harapan bagi perbaikan penyelenggaraan pemerintahan. Lahirlah UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah yang membenahi hubungan pusat dan daerah. Daerah memiliki kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain. Seiring dengan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung pada 2004, UU No. 22/1999 diganti dengan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Salah satu perubahan penting dalam undang-undang itu adalah ditetapkannya pemilihan daerah pilkada secara langsung. Pilkada langsung berjalan beriringan dengan pemekaran daerah. UU No. 32/2004 kemudian diganti dengan UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini menegaskan bahwa dalam penyelenggaraan otonomi daerah, tanggung jawab tertinggi dari penyelenggaraan pemerintahan tetap berada di tangan pemerintah pusat. Oleh karena itu, pemerintah pusat akan selalu melakukan supervisi, monitoring, kontrol, dan pemberdayaan agar daerah dapat menjalankan otonominya secara optimal. - Otonomi artinya memiliki peraturan sendiri atau mempunyai hak/kekuasaan/kewenangan untuk membuat peraturan sendiri. Istilah otonomi mengalami perkembangan menjadi "pemerintahan sendiri". Pemerintahan sendiri ini meliputi pengaturan atau perundang-undangan sendiri, pelaksanaan sendiri, dalam batas-batas tertentu juga peradilan, dan kepolisian sendiri. Pengertian Otonomi Daerah Otonomi daerah adalah penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus urusan-urusan yang diserahkan oleh pusat ke daerah tersebut disebut urusan rumah tangga daerah. Dengan kata lain, sistem rumah tangga daerah adalah tatanan yang berkaitan dengan pembagian wewenang, tugas, dan tanggung jawab untuk mengurus urusan pemerintahan antar pusat dan daerah. Daerah-daerah yang diberi wewenang untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri ini kemudian disebut daerah otonom. Baca juga Sejarah Otonomi Daerah dari Masa Kolonial hingga Pasca Kemerdekaan Asas Otonomi Daerah Asas Desentralisasi Dalam pelaksanaan otonomi daerah ada sebuah penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya sendiri disebut asas desentralisasi. Penyerahan wewenang dalam desentralisasi berlangusng antara lembaga-lembaga otonom di pusat dengan lembaga otonom di daerah. Asas desentralisasi di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun Dekonsentrasi Asas dekonsentrasi adalah pendelegasian sebagian urusan pemerintahan yang menjadi wewenang pemerintah pusat kepada kepala daerah. Pendelegasian kepada kepala daerah dilakukan karena kepala daerah adalah wakil dari pemerintah pusat. Gubernur, wali kota, dan bupati sebagai wakil pemerintah pusat pada instansi vertikal di sebuah wilayah tertentu dan sebagai penanggung jawab dari urusan pemerintahan umum. Baca juga Peran Pemerintah Daerah dalam Otonomi Daerah Asas Tugas Pembantuan Asas tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk menyelesaikan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat. Bisa juga dari pemerintah daerah provinsi kepada daerah kabupaten atau kota untuk melaksanakan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi wewenang daerah provinsi. Tujuan Otonomi Daerah Penerapan otonomi daerah di Indonesia memiliki beberapa tujuan yaitu Mewujudkan demokratisasi sistem pemerintahan di daerah. Mengurangi kesenjangan antar daerah. Memberdayakan dan meningkatkan kemampuan perekonomian daerah. Menciptakan sistem pembiayaan daerah yang adil, proporsional, dan transparan. Mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang partisipatif. Mempertegas sistem pertanggungjawaban keuangan oleh pemerintah daerah. Menciptakan akuntabilitas lokal sehingga lebih memperhatikan hak-hak masyarakatnya. Mempermudah antisipasi terhadap berbagai masalah yang muncul dan dihadapi oleh masyarakatnya. Meningkatkan partisipasi masyarakat sipil. Meningkatkan kualitas pelayanan publik. Referensi Haris, Syamsuddin. 2005. Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Jakarta LIPI Press Nurcholis, Hanif. 2005. Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Jakarta Penerbit Grasindo Soemantri, Sri. 2014. Otonomi Daerah. Bandung PT Remaja Rosdakarya Kaho, Josef Riwu. 2012. Analisis Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia. Yogyakarta Polgov Fisipol UGM Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

carilah daerah otonom di indonesia analisislah daerah yang anda pilih